Aku bukan termasuk orang yang gampang jatuh cinta, apalagi tentang bola. Bicara tentang bola, yaa baru-baru ini aku menyukai salah satu club sepak bola, kenapa bisa sukanya karena hal pelajaran, sejarah terbentuknya club ini cukup menarik, tentang lapangannya sendiri “old Trafford”, fans mana yang gak mau ke lapangan yang begitu legendaries “ihh apaan Manchester united?” teriak seorang wanita dengan begitu sinisnya saat aku memperlihatkan hasil web design ku kepadanya. “emangnya kenapa?” pertanyaan yang benar-benar aneh terdengar, padahal sepak bola hal yang tabu bagi kami berdua “emangnya kenapa? Kau Tanya emangnya kenapa? Apa bagusnya M.U? Gak ada!” tambahnya seolah dia paling mengetahui seluk-beluk “setan merah” ini. “sering nonton ya? Tau dari mana? Seru gak?” tanyaku yang emang dasarnya tidak tahu-menahu soal bola. “seru dong, tapi tetap permainan CLUB-mu itu gak sebagus yang jadi lawannya”tambahnya, aku hanya mengangguk membiarkan dia bercerita, “siapa itu pelatihnya? Sir freddi, sir… ahh itulah namanya” Tanyanya acuh tak acuh “sir alex ferguson, ta” jawabku datar “iya itulah pokoknya, terserah” sela cita karena merasa malu sudah sok tahu soal “setan merah” ini. “wah, sepertinya ada yang mulai tertarik nih” godaku pada cita “ih, enggak lah, merah tetap merah, aku sih putih” dengan bangganya ia membela club favorite-nya. Hasil persentasi yang memuaskan, membuatku semakin tertarik sama “setan merah;Red devils” ini. “besok masuk asrama yaaa!!” lengkingan suara cita membuyarkan lamunanku “berapa hari?” Tanya ku mengingat-ingat kami emang ada jadwal diskusi dari seluruh sekolah negeri di medan “ 3 hari lah” jawab cita singkat, ucapan cita terabaikan oleh pikiran-pikiran tentang setan merah, old Trafford, dan tentunya si rooney, si cowo cakep salah satu pemainnya.
Diskusi berlangsung lama, aku dan
cita berpisah kelompok. Mata ku tertuju pada seseorang yang mengenakan kemeja
merah dengan tekstur batik, dan membentuk satu lambang yang ku kenal. Dia berbicara
dengan lancar, membahas materi-materi diskusi, aku bahkan tak perduli dengan
apa yang sedang kami diskusikan, aku mencoba memperjelas penglihatanku terhadap
kemeja itu. mata kami beradu. Dua detik, dia memalingkan wajahnya, dan terus
menikmati acara diskusi. “Hari pertama berjalan lancar” racauku setelah sampai
di kamar. “gimana? Diskusi tadi? Dapat inspirasi apa aja?” Tanya cita dari
seberang tempat tidur “gaada, Cuma ketemu cowo yang pake kemeja M.U” ucapku
kepada cita “ahh yaudala, gaada bahasan lain, bosan, mau tidur. Bye” cita
berlalu kembali ketempat tidurnya.
Tanpa kusadari, setelah acara diskusi kemarin, aku terus mencari-cari sosok kemeja merah itu. “iya, aku kelas dua” suara yang tak begitu asing terdengar tidak jauh dibelakangku, aku menoleh. Mataku terpaku menatap sumber suara, yang ternyata dari tadi kucari, ya sosok si kemeja merah. Lagi-lagi dia menatapku, ahh tidak, dia melihat kedepan, bukan kearahku. Tiba-tiba dia sudah tepat di sampingku, dengan jarak satu kursi kosong diantaranya, aku ragu menjawab sapaanya, dengan cepat dan dingin aku memutuskan untuk menjawabnya, aku kembali menjadi diriku yang dingin, mencoba member batas pada orang-orang asing. Pembicaraan yang terjadi begitu banyak, aku terbiasa mendengar suaranya, menatapnya, mendengar setiap ceritanya “ngomong itu jangan pelan kali, kencangin suaranya, disini tempat kita bersosialisasi, kenalan, tunjukin sifat asli kita” dengan percaya diri dia menasehatiku, bukan, bukan memberikan nasehat, mungkin saran lebih tepatnya. “emang dasar suaranya kecil, mau gimana dibuat?” balasku sekenaknya “gak mungkin gak bisa besar suaranya, coba lihat mereka semua, semuanya itu bebas disini” celotehnya lagi, setelah perdebatan yang panjang aku tahu namanya sakti, suka Manchester united, punya beberapa, ahh tidak hampir semua yang ada dikamarnya mungkin tentang “red devils”, dan mempunyai satu tujuan yang sama denganku “Old Trafford” lapangan bersejarah yang dimiliki Manchester United, satu club yang sama-sama kami sukai, meski aku pendatang baru, sebagai senior dalam pengetahuan tentang club-ini, sakti bukan orang yang suka nge-judge orang, hanya jahil. Dan seperti dugaanku, dia deketin hampir semua perempuan yang ada diauditorium ini. hal biasa, namun beberapa jam yang kulalui, sudah sebanyak itu yang kuketahui tentang sakti “ahh, aku udah mulai gak waras, ngapain berharap ketemu dia lagi” racauku sendiri.
Tanpa kusadari, setelah acara diskusi kemarin, aku terus mencari-cari sosok kemeja merah itu. “iya, aku kelas dua” suara yang tak begitu asing terdengar tidak jauh dibelakangku, aku menoleh. Mataku terpaku menatap sumber suara, yang ternyata dari tadi kucari, ya sosok si kemeja merah. Lagi-lagi dia menatapku, ahh tidak, dia melihat kedepan, bukan kearahku. Tiba-tiba dia sudah tepat di sampingku, dengan jarak satu kursi kosong diantaranya, aku ragu menjawab sapaanya, dengan cepat dan dingin aku memutuskan untuk menjawabnya, aku kembali menjadi diriku yang dingin, mencoba member batas pada orang-orang asing. Pembicaraan yang terjadi begitu banyak, aku terbiasa mendengar suaranya, menatapnya, mendengar setiap ceritanya “ngomong itu jangan pelan kali, kencangin suaranya, disini tempat kita bersosialisasi, kenalan, tunjukin sifat asli kita” dengan percaya diri dia menasehatiku, bukan, bukan memberikan nasehat, mungkin saran lebih tepatnya. “emang dasar suaranya kecil, mau gimana dibuat?” balasku sekenaknya “gak mungkin gak bisa besar suaranya, coba lihat mereka semua, semuanya itu bebas disini” celotehnya lagi, setelah perdebatan yang panjang aku tahu namanya sakti, suka Manchester united, punya beberapa, ahh tidak hampir semua yang ada dikamarnya mungkin tentang “red devils”, dan mempunyai satu tujuan yang sama denganku “Old Trafford” lapangan bersejarah yang dimiliki Manchester United, satu club yang sama-sama kami sukai, meski aku pendatang baru, sebagai senior dalam pengetahuan tentang club-ini, sakti bukan orang yang suka nge-judge orang, hanya jahil. Dan seperti dugaanku, dia deketin hampir semua perempuan yang ada diauditorium ini. hal biasa, namun beberapa jam yang kulalui, sudah sebanyak itu yang kuketahui tentang sakti “ahh, aku udah mulai gak waras, ngapain berharap ketemu dia lagi” racauku sendiri.
Hari terakhir, karena jadwal
diskusi yang penuh, aku, cinta dan perempuan-perempuan lain yang sekamar
denganku kurang tidur, dan saat materi terakhir diauditorium hal yang kulakukan
agar tidak ketiduran, tentu saja mencari sosok sakti. “dia gak ada, apa masih
tidur ya?” tanyaku sendiri, mendengar materi yang menurutku cukup, membosankan,
aku nyaris tertidur kalau gak dengar suara gaduh masuk dari pintu belakang. Aku
melihatnya, pertama jumpa, dan terakhir perjumpaan, dengan dandanan yang sama
aku melihat sakti. Tapi dengan penilaian yang berbeda,masih dengan sikap dingin
aku menanggapi celotehannya. aku tak ingin membuat pria ini terlibat apapun
denganku, setelah pertemuan ini. tapi persepsiku salah, dia bukan orang yang
semudah itu menyerah. Akibat perkenalan selama 3 hari, keinginan mencari tau
tentang club ini semakin menggebu-gebu. Akibat perkenalan selama 3 hari ini,aku
jatuh cinta.