Ada satu orang,
yang bisa mencampur aduk perasaan dalam sekali ucap. Arvie Baskhara. Dialah,
teman semua orang, tapi selalu merasa tak ada yang mengenalnya. “apa yang
penting dari hidup lo sar? Soal nya sering banget bilang gak penting” tanya Abas
padaku. “gaada” jawabku singkat. Tak pernah terpikirkan oleh ku, apa yang
penting, pertanyaannya membuat perasaanku aneh, seolah dia ingin tau apa yang
terjadi pada ku. “masa gaada? Apa tujuan hidup lo?” cecarnya lagi “gaada” kataku. Sampai
satu pertanyaan dari dia yang membuatku diam menahan tangis “untuk apa lo
hidup di dunia ini?” tanya nya kembali dengan serius “Gatau, emang
bisa milih ada di dunia ini?” tanyaku dengan menahan tangis.
Mungkin, baginya semua makhluk hidup harus punya tujuan hidup. Aku dengan ke
egoisan ku selalu berpikir, untuk apa hidup karena akan mati juga. Apasih yang
dikejar, tapi karena pertanyaannya aku berpikir untuk apa aku hidup. 22 tahun,
aku bertanya lagi pada diriku, apa yang ingin ku capai? Apa yang harus ku
perbaiki? Tapi aku belum menemukan satu alasan, masih mencari kenapa aku bisa
di dunia ini.
“jadi, selama
ini mikirnya gimana? Gini, aku pernasaran sama sesuatu yang mentrigger dirimu untuk
melakukan sesuatu” lagi-lagi pertanyaan yang sama “gaada. Gak
perlu penasaran, jangan terlalu penasaran sampai terlalu jauh dalam hidup
sesorang. Gak semua orang sama dengan apa yang kita pikirkan dan, gak semua
orang harus sesuai yang kita pikirkan meski tau kita berbeda dari mereka” jawabku
menahan emosi. Dia hanya teman Sekolah Menengah Pertama, yang bahkan selama itu
enggak pernah saling sapa, ngobrol bahkan berjabat tangan. Apa hak nya bertanya
kenapa aku hidup di dunia ini.
Tidak ada yang salah dengan itu semua, trigger atau apapun itu,
semua dengan pemikiran juga kan ya. Tapi ketika menjadi pusat pertanyaan sampai
terucap mengapa harus hidup di dunia ini apakah pantas? Emangnya hidup matinya
seseorang patut dipertanyakan? Aku bahkan enggak minta untuk bisa hidup. Tapi
mencoba untuk selalu bisa bersyukur bagaimana pun keadaannya. Bagaimana
menangis ketika gak bisa sesuai ekspektasi orang, bagaimana berpura-pura
tersenyum menahan tangis agar orang lain tak merasa kasihan.
“maaf, mungkin
maksudku tadi enggak gitu, cuma gaada Bahasa yang terpikirkan lagi, baru lo sar
yang ngejawab semua pertanyaan dengan 1 jawaban yang sama “gaada” keluar rasa
ingin tahu jadinya. Aku liat lo kaya burung yang terbang di awan gitu” katanya, meski
dia tak perlu mengucapkan kata maaf itu “keunikan lo itu
terlihat jelas soalnya, dan aku suka dengan keunikan seseorang. Dengan
mengetahui keunikan seseorang lah, aku bisa tau cara bersikap dengan orang
lain. Sama seperti lo yang introvert, aku udah jumpa sama anak introvert lain
yang beda dari lo, meskipun tetap ada yang sama jalurnya. Maaf pertanyaannya
buat lo marah, kesel, gak enak dsb” sambungnya
lagi. Dan aku memutuskan diam dan tak lagi menjawab pertanyaannya, nangis
hingga tertidur.
Aku bahkan tak
pernah bertemu langsung dengannya, 10 tahun, tak pernah tegur sapa tapi bisa
senyaman itu berteman, baper? Iya. Lanjut? Tidak, udah punya pacar doi. Aku
juga punya, meski gak se-uwu kisah cinta nya. Ku kira, teman yang sering
ketemu, saling berbagi cerita, tertawa bersama bias saling mengerti dan
mengenal. Ternyata, orang yang mampu mengenal diri orang lain adalah teman
terbaik dan pendengar terbaik, hingga sekarang aku tetap bercerita dan dia tak
pernah mengeluh sedikitpun dengan hal itu. Apapun dirimu, siapapun kamu
sekarang, dia tetap disamping mu tanpa menjatuhkan. aktingnya sukses hingga dia berpikir dia hanya sebatas teman.
Mungkin, baginya semua makhluk hidup harus punya tujuan hidup. Aku dengan ke egoisan ku selalu berpikir, untuk apa hidup karena akan mati juga. Apasih yang dikejar, tapi karena pertanyaannya aku berpikir untuk apa aku hidup. 22 tahun, aku bertanya lagi pada diriku, apa yang ingin ku capai? Apa yang harus ku perbaiki? Tapi aku belum menemukan satu alasan, masih mencari kenapa aku bisa di dunia ini.
Tidak ada yang salah dengan itu semua, trigger atau apapun itu, semua dengan pemikiran juga kan ya. Tapi ketika menjadi pusat pertanyaan sampai terucap mengapa harus hidup di dunia ini apakah pantas? Emangnya hidup matinya seseorang patut dipertanyakan? Aku bahkan enggak minta untuk bisa hidup. Tapi mencoba untuk selalu bisa bersyukur bagaimana pun keadaannya. Bagaimana menangis ketika gak bisa sesuai ekspektasi orang, bagaimana berpura-pura tersenyum menahan tangis agar orang lain tak merasa kasihan.