Rabu, 13 Juli 2016

Unknown

Apa yang kamu inginkan saat ini?" Suara bariton itu terus mengganggu sejak beberapa jam yang lalu. "Boleh aku minta balon? Aku ingin terbang" ujarku asal "butuh berapa banyak balon agar kau bisa terbang" tawa nyaringnya sungguh mengejek ku. "Satu cukup" ujarku malas "hahahaha" tawanya benarbenar menganggu. "Ai, andai bulan dan bintang bisa bicara ya, seperti rumput yang bergoyang" datar. "Hahahaha kaya lagu aja, nyanyi sono ditengah lapang" derai tawa membuat perutku sakit "aku serius Ai" datar.Hening. "Apa yang ingin didengar seandainya mereka bisa ngomong?" Selang 5 menit terpagu aku bertanya. "Entahlah, mungkin mendengar dia berkata sesuatu yang bisa membuatku melupakanmu" gelapnya malam tak mampu membuatku menerka raut wajahnya. Aku hanya mampu memainkan jemari kaki pada pasir. Hening lagi.
"Bay,...." aku mengantung kalimat "maaf, membuatmu berjuang sejauh ini" airmata menggantung bersiap meluncur kala aku berkedip. "Kamu tahu Ai, kamu itu bagai bulan, meski sendiri tetap tegar, meski sendiri mampu bertahan, kamu seperti bulan yang terkadang memiliki sisi gelapnya Ai, tapi kamu tetaplah kamu, diri kamu sendiri. Dan susah untuk melupakan itu"ujarnya sakratis "Maaf bay, kamu mengenalku, kamu memahamiku. Aku hanya lelah" isakan mulai terdengar bagai belati menghunus jantung Banyu Erlangga. Air mata sahabatnya sangat menyakitkan baginya. Namun, jemari tangan enggan menghapus air matanya. "Bay, apa aku seperti pedang, yang setiap melihatku membuatmu sakit?" Tanyaku disela senggugukan tangisan.
"Aku merindukanmu ai" hanya dengan satu helaan nafas kata itu terlontar dari bibir "Apa yang kamu inginkan bay? Apa yg bisa kulakukan agar kau memaafkanku bay? Aku ingin kembali padamu, tapi aku butuh ikatan. Aku... aku tak ingin ada orang lain lagi dikehidupanku bay, aku hanya ingin bertumpu pada seseorang. Aku lelah. Aku ingin seseorang mencintaiku, tulus, apa adanya, sebagaimana aku sekarang, bukan sebagaimana hinanya aku masa dulu. Tak ada yang paham akan ku bay. Cuma kamu. Tapi aku tak ingin menyakitimu karena aku yang selalu menyakitimu bay. kamu mengerti?" Tanyaku kemudian.
"Ai, akulah sang bumi, yang menunggu bulan, yang setiap malam bersenandung bersamamu, aku membutuhkanmu untuk mendengar keluh kesahku akan manusia-manusia bumi" ucapannya kian meninggi "tapi aku juga ingin didengarkan bay, aku lelah mendengarkan, lalu apa? Mereka menghilang, seperti orang bilang " ada yang mendekat agar memiliki teman cerita. Ada yang bercerita lalu dekat. Ada yang berusaha mendekat dan menjadikanmu bahan cerita" semua manusia sama bay. Segala ketulusan akan ada imbalannya. Aku lelah. Karena akhirnya mereka akan pergi dan meninggalkan" suaraku sarat akan emosi. "kamu salah ai, kamu salah kalau berpikir seperti itu" ujarnya tak kalah diplomatis. Diam. "Sudahlah lupakan, maaf Bay. Aku harus pulang. Selamat tinggal." Derit besi ayunan memecah keheningan yang tercipta aku melangkah menjahuinya menyimpan hati untuk selamanya.
 
"Ai, jangan lupa bahagia. Kamu pantas untuk bahagia" samar suara baritonnya terbawa angin mnemaniku berjalan dibawah terangnya sang rembulan.



-Unknown-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar