Sabtu, 31 Oktober 2015

Pemberontakan Hati

Entah apa yang membuatku ragu menggenggam tangannya, seolah deja vu seolah aku sudah pernah menggenggam tangannya, seolah aku sudah begitu lama mengenalnya. Semuanya terjadi begitu saja kala tangan yang ramah saling bertautan sembari menyebutkan nama. Lagi-lagi ingatan yang tak pernah hilang, ingatan yang tak mau beranjak dari memori kecil disudut pikiranku menyeruak keluar. Kini, tahun berlalu, yang bahkan aku sendiri tak menyangka bisa duduk disebelahnya, disaat dimana aku lari lagi dari kenyataan, disaat pertama kali kami bertemu. Aku hanya menatap nyalang keseluruh penjuru tempat, keseluruh makhluk hidup, tetapi tidak dengannya. Aku menjauh kan pandanganku, meski dia ada disampingku, aura intimidasi begitu terasa memenuhi tubuhku, dalam diam, tanpa kata-kata, mataku akhirnya tertumbuk pada tangannya. Tak berani menatap mata coklatnya yang indah. Sunyi. Hanya deru kendaraan, suara-suara orang yang disekitar, dan degup jantungku sendiri yang bisa kudengar. “dasar pengecut” bukan suatu pembukaan dari mulutnya, tapi begitu menusuk jantung “memang pengecut” gumamku berharap sudah terbawa angin “kenapa lari?” kembali dia bersuara, hanya diam yang mampu ku berikan, tanpa mengalihkan pandanganku pada tangannya. Desiran hangat menerpa sekujur tubuhku. Aku hilang fokus! Tangannya sudah membelai lembut kepalaku. Aku mendongak menatapnya, aku luruh, aku jatuh terlalu dalam lagi, aku memalingkan wajahku “Se-menderita itu ya?” tanyanya lagi “semenderita itu? Kenapa baru nanya sekarang?! Iya! Aku sangat menderita! Sungguh ku menderita akan semua ini! Apakah kau sadar sekarang? Aku menderita, sangat-sangat menderita” umpatku dalam hati, yang kuakhiri dengan anggukan, aku tak sanggup berkata-kata, aku terguncang, mencoba menahan laju air mataku agar tidak turun dihadapannya. “menderita karena aku datang kesini?” tanyanya, aku terperangah “tidak! Bukan karena dirimu, bukan karena hadir mu aku menderita, tentu kau tahu alasannya!” lagi aku hanya menjawab dalam hati dan mengakhiri dengan gelengan, tangannya masih dengan lembut membelai kepalaku. Aku hanyut, membiarkan diriku terbawa arus cinta yang dalam, membiarkan hatiku jungkir-balik menerima semuanya, tapi bagaimanapun aku harus mencari apapun yang mampu digapai oleh tanganku, aku tak mau hanyut dan mati lagi. “seperti ini rupanya perempuan” tawanya getir, raut mukanya tak dapat kuartikan “apakah dia mengerti pernyataanku? Apakah dia memahaminya?”aku menerka-nerka dalam pikiranku aku menatapnya dengan bingung, maksud ucapannya yang tak kupahami. “tenanginlah dirimu, dan ku harap, setelah kembali kamu bukan gadis yang berkepribadian ganda lagi”ujarnya tenang “apa maksud pernyataanya dengan berkepribadian ganda?” aku menatapnya bingung “kamu tertawa bersamaku, kamu bercerita apapun, kamu mengikuti semua perkataanku, kamu tersenyum, menangis, kamu menjadi dirimu. Hanya dihadapanku!” tegasnya seolah mengerti isi pikiranku “tetapi...” tambahnya menggantung “tetapi apa? Ada apa?” aku mencoba bertanya tapi tak ada kata-kata yang mampu kulontarkan “kau berubah diam tanpaku, kau menjadi sedingin es, menjadi sehangat musim panas, kau berubah-ubah, tanpa ekspresi, berbicara jika ada yang mengajakmu bicara dahulu, tersenyum yang dipaksakan, setelahnya? Kau hampa. Diam, melamun, bahkan kadang kau tak sadar akan sekelilingmu, aku tak bisa bersamamu selama 24 jam” terangnya panjang lebar, namun emang dasarnya aku bodoh, aku hanya menatapnya, menikmati belaian tangannya dikepalaku tanpa berkata apa-apa “kita bisa!, tidak! Kita tidak bisa, tapi mungkin aku bisa mencoba, apapun yang ada dipikiranmu, tenanglah sayang, aku tak lari dari dirimu, cintaku sudah terbenam cukup lama untukmu, hanya saja, ada orang tak bertanggung jawab tanpa ataupun dengan sengaja mendorong ku jatuh kedasar jurang, jadi, bertahanlah. Bertahanlah, untuk menemukan diriku, aku hanya ingin menenangkan setiap inchi dari hatiku yang memberontak ingin membunuh siapapun yang mencoba memasuki ruang pribadinya.”
Suara dikepalaku berputar-putar bagai kaset rusak, aku menatapnya, tangannya sudah tak berada diatas kepalaku, kini mengisi sela-sela jariku, mengenggamnya “pergilah, tenangkan dirimu, aku akan menunggu” ucapnya datar, ada rasa sakit didalamnya, ada rasa perih yang terdengar dari ucapannya. Aku hanya mampu mengangguk, membiarkannya menarik tanganku, dan mengantarkan kepergianku yang tiba-tiba ini. “terima kasih dan maafkan aku” dan aku menghilang dari hadapannya, menjatuhkan bulir-bulir air mata yang tertahan sejak tadi. Mencoba menenangkan diriku. Aku pergi, dan akan kembali, entah kembali seperti apa, kuharap kau membuka lebar tanganmu dan menerimaku.

Selasa, 20 Oktober 2015

Harapan Tentang Waktu

Seresah rindu yang menghampiri aliran-aliran darah
Sekalut pikiran yang merusak segala fungsi otak
Seperti itu guncangan yang tercipta didegupan jantungku
Mungkin kita butuh waktu lagi untuk berkenalan
Menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi
Memanjakan diri dengan dunia-dunia kita
Sayangnya,
segalanya sirna bagaikan awan gelap menutup mentari
aku hanya bermimpi, dan terus bermimpi akan kenangan ini
tanpa tahu, setetes hujan mulai membasahi pipi ini
oh, bukan hujan!
Hanya air mata yang tanpa perintah jatuh sekenaknya
Gemuruh mulai terdengar pertanda hujan yang akan turun
Apakah kita bisa mencinta seperti dahulu lagi?
Tapi aku begitu ragu,
Sungguh kau tahu seperti apa diriku yang dihadapanmu kini
Bahkan kali ini hujan tak mampu mengusir perasaan ini
Perasaan gundah yang bahkan ku tak tahu penyebabnya
Bolehkah?
Bolehkah aku mengulang waktu sekali ini
Untuk mengingatkan kenangan-kenangan yang mulai hilang
Butuh berapa hari untuk kita kembali seperti dulu
Butuh berapa lama waktu agar kita bisa teratawa bersama
Egoiskah?
Kala ku berkata ingin duduk diam mendengarkan celotehmu
Bisakah aku mengahbiskan waktu hanya bersama mu

Meski hanya, dua hari ini saja

Kamis, 08 Oktober 2015

Kau Dimana?

pernah ketemu seseorang yang selama ini kau hindari karena dia terlalu bersinar untuk dirimu yang gelap? kurasa kini sang mentari menghampiri hidupku, entah hanya untuk menggertakku keluar dari kegelapan atau ingin menyinari semua masa-masa gelapku. Tapi bukan hal yang cukup penting, ada ataupun tanpa dia, aku juga akan tetap sendirian menghadapi dunia ini. Awan gelap selalu mengikuti kemana aku melangkah. Bukan nya aku tak dapat menerima kenyataan, hanya saja kenyataan begitu keras menghantam jiwaku, sehingga aku harus meringkuk kesudut yang paling gelap. Kesendirian. Kamu gadis baik, kamu gadis polos, kamu yang paling cantik. Seperti itulah masa-masa dimana aku mencintai matahari, mencintai awan gelap, mencintai seisi dunia ini. Tapi bagaimanapun juga, roda berputar dan aku tertarik kebawah, hancur akan kebahagiaan, tenggelam dalam kegelapan. Kecewa? Tentu saja, bukan berarti aku menelan mentah-mentah ucapan mereka kala aku diatas, hanya saja aku terlalu merendahkan diri sehingga aku semakin menjadi wanita rendahan. Sendirian sungguh tidak menyenangkan, tak ada teman, taada tempat berbagi cerita, tak ada pula kasih sayang. Lagi-lagi aku berpura-pura menikmatinya. Berbohong kepada dunia bahwa aku baik-baik saja. Dan kali ini cukup berbeda, kesendirian benar-benar menggangguku. Tidak seperti biasanya, aku yang selalu sibuk dengan duniaku sendiri, tak memperdulikan orang berlalu-lalang dan hanya berkutat dengan benda mati yang selalu kita bawa kemanapun; handphone ataupun sekedar novel yang kubawa. Begitu pula saat ini, aku hanya duduk dengan sejuta umat manusia disekelilingku, tapi tak ada seorangpun yang berada di kanan atau di sebelah kiriku, seolah ada gelombang sinar elktromagnetik disekitar tubuhku yang bila mengenai orang akan membunuhnya dalam sekejap. Tak kupungkiri kini aku membutuhkan sesorang seperti yang pria itu katakan, aku terlalu egois, selalu membangun tembok. Pria itu juga mengatakan, kala ku sendiri, aku hanya bergumam, tenggelam dalam pikiran-pikiran anehku, bahkan terkadang begitu murung, berbicara seolah alam mendengarku, mendengar jiwaku tanpa aku harus berbuka suara. Semua terekam jelas dalam lensa matanya, terekam dengan sangat jelas, begitu katanya. Satu lagi, tidak hanya kamu yang terpuruk didunia ini, sehina dan sekotor apapun dirimu, masih ada yang lebih dibawah kamu. Nasehat yang mungkin sangat kubutuhkan saat ini. Percaya atau tidak, aku mencoba percaya kala itu, namun segera menguap bersama awan gelap yang hendak mencengkram nadiku. 
Setelah begitu banyak pertimbangan dalam pikiran anehku, aku tidak membenci kesendirianku, tapi setelah dia berkata seperti itu kepadaku, aku sadar. 
Aku sendirian.
Aku membutuhkan sang mentari.