Entah apa yang membuatku ragu
menggenggam tangannya, seolah deja vu
seolah aku sudah pernah menggenggam tangannya, seolah aku sudah begitu lama
mengenalnya. Semuanya terjadi begitu saja kala tangan yang ramah saling
bertautan sembari menyebutkan nama. Lagi-lagi ingatan yang tak pernah hilang,
ingatan yang tak mau beranjak dari memori kecil disudut pikiranku menyeruak
keluar. Kini, tahun berlalu, yang bahkan aku sendiri tak menyangka bisa duduk
disebelahnya, disaat dimana aku lari lagi dari kenyataan, disaat pertama kali
kami bertemu. Aku hanya menatap nyalang keseluruh penjuru tempat, keseluruh
makhluk hidup, tetapi tidak dengannya. Aku menjauh kan pandanganku, meski dia
ada disampingku, aura intimidasi begitu terasa memenuhi tubuhku, dalam diam,
tanpa kata-kata, mataku akhirnya tertumbuk pada tangannya. Tak berani menatap mata
coklatnya yang indah. Sunyi. Hanya deru kendaraan, suara-suara orang yang
disekitar, dan degup jantungku sendiri yang bisa kudengar. “dasar pengecut”
bukan suatu pembukaan dari mulutnya, tapi begitu menusuk jantung “memang
pengecut” gumamku berharap sudah terbawa angin “kenapa lari?” kembali dia
bersuara, hanya diam yang mampu ku berikan, tanpa mengalihkan pandanganku pada
tangannya. Desiran hangat menerpa sekujur tubuhku. Aku hilang fokus! Tangannya
sudah membelai lembut kepalaku. Aku mendongak menatapnya, aku luruh, aku jatuh
terlalu dalam lagi, aku memalingkan wajahku “Se-menderita itu ya?” tanyanya
lagi “semenderita itu? Kenapa baru nanya
sekarang?! Iya! Aku sangat menderita! Sungguh ku menderita akan semua ini!
Apakah kau sadar sekarang? Aku menderita, sangat-sangat menderita” umpatku
dalam hati, yang kuakhiri dengan anggukan, aku tak sanggup berkata-kata, aku
terguncang, mencoba menahan laju air mataku agar tidak turun dihadapannya.
“menderita karena aku datang kesini?” tanyanya, aku terperangah “tidak! Bukan karena dirimu, bukan karena
hadir mu aku menderita, tentu kau tahu alasannya!” lagi aku hanya menjawab
dalam hati dan mengakhiri dengan gelengan, tangannya masih dengan lembut
membelai kepalaku. Aku hanyut, membiarkan
diriku terbawa arus cinta yang dalam, membiarkan hatiku jungkir-balik menerima
semuanya, tapi bagaimanapun aku harus mencari apapun yang mampu digapai oleh
tanganku, aku tak mau hanyut dan mati lagi. “seperti ini rupanya perempuan”
tawanya getir, raut mukanya tak dapat kuartikan “apakah dia mengerti pernyataanku? Apakah dia memahaminya?”aku
menerka-nerka dalam pikiranku aku menatapnya dengan bingung, maksud ucapannya
yang tak kupahami. “tenanginlah dirimu, dan ku harap, setelah kembali kamu
bukan gadis yang berkepribadian ganda lagi”ujarnya tenang “apa maksud pernyataanya dengan berkepribadian ganda?” aku
menatapnya bingung “kamu tertawa bersamaku, kamu bercerita apapun, kamu
mengikuti semua perkataanku, kamu tersenyum, menangis, kamu menjadi dirimu.
Hanya dihadapanku!” tegasnya seolah mengerti isi pikiranku “tetapi...”
tambahnya menggantung “tetapi apa? Ada
apa?” aku mencoba bertanya tapi tak ada kata-kata yang mampu kulontarkan
“kau berubah diam tanpaku, kau menjadi sedingin es, menjadi sehangat musim
panas, kau berubah-ubah, tanpa ekspresi, berbicara jika ada yang mengajakmu
bicara dahulu, tersenyum yang dipaksakan, setelahnya? Kau hampa. Diam, melamun,
bahkan kadang kau tak sadar akan sekelilingmu, aku tak bisa bersamamu selama 24
jam” terangnya panjang lebar, namun emang dasarnya aku bodoh, aku hanya
menatapnya, menikmati belaian tangannya dikepalaku tanpa berkata apa-apa “kita bisa!, tidak! Kita tidak bisa, tapi
mungkin aku bisa mencoba, apapun yang ada dipikiranmu, tenanglah sayang, aku
tak lari dari dirimu, cintaku sudah terbenam cukup lama untukmu, hanya saja,
ada orang tak bertanggung jawab tanpa ataupun dengan sengaja mendorong ku jatuh
kedasar jurang, jadi, bertahanlah. Bertahanlah, untuk menemukan diriku, aku
hanya ingin menenangkan setiap inchi dari hatiku yang memberontak ingin
membunuh siapapun yang mencoba memasuki ruang pribadinya.”
Suara dikepalaku
berputar-putar bagai kaset rusak, aku menatapnya, tangannya sudah tak berada
diatas kepalaku, kini mengisi sela-sela jariku, mengenggamnya “pergilah,
tenangkan dirimu, aku akan menunggu” ucapnya datar, ada rasa sakit didalamnya,
ada rasa perih yang terdengar dari ucapannya. Aku hanya mampu mengangguk,
membiarkannya menarik tanganku, dan mengantarkan kepergianku yang tiba-tiba
ini. “terima kasih dan maafkan aku” dan aku menghilang dari hadapannya,
menjatuhkan bulir-bulir air mata yang tertahan sejak tadi. Mencoba menenangkan
diriku. Aku pergi, dan akan kembali, entah kembali seperti apa, kuharap kau
membuka lebar tanganmu dan menerimaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar